Label

Jumat, 12 Desember 2008

tentang hidup

Di tengah laju waktu, Kucoba tuliskan lagi kegelisahanku, Tentang kata dan makna Yang kini mengukir rasa antara jiwa. Kumulai lagi mengisi raga Dengan langkah-langkahku,

Jangan berhenti, teruslah kulalui kegelisahan-kegelisahan ini, mencapai makna dari pertanyaan-pertanyaan yang selalu lahir sebelum ku temui jawab dari tanya sebelumnya, kini aku semakin mengalir, melaju bersama kata, sungguh nikmat bermain-main dengan hal yang dapat kita cipta dan hanguskan,dengan penuh kedaulatan. Kini aku mencoba mengalun bersama nada-nada yang sumbang, menuju laju lagu kehidupan, dan ketika saat kegelisahanku menemukan jawab, itulah sebuah ketakutan ku yang terbesar, dan itulah ambang keakhiran prosesi perjalanan ini, aku ingin terus mencari pertanyaan, agar langkahku tetap terjaga, dan dengan sendirinya setiap makna akan terukir dengan sendirinya, ya terukir, bukan terlukis, atau tertulis.

Aku sebuah konsistensi, yang kadang berlari menjauh, dan kadang bercumbu bersama kata-kata, dalam kehidupan . laju langkah yang tak henti, aku sebuah kosekwensi dari proses yang ku cipta, dari makna yang terukir hingga melahirkan pertanyaan yang lahir dan terus lahir. Walau kadang rahim yang melahirkan pertanyaan-pertanyaan itu lelah untuk selalu mengalirkan hasil intim perjalanan dengan kegelisahan.

Sedikit, yang kutahu! Mungkinkah tetesan embun bisa mewakilli keadaan, mungkinkah keadaan kan lahirkan kegelisahan, lalu melaju terus tanpa henti, itulah sebuah konsistensi. Tapi ketika aku sadar, ternyata aku juga sebuah tanggung jawab, dari kedaulatan yang kusandang, dari dunia yang ku cipta, dari sisi ini aku mendapat dua pilihan, lari atau menantang, sementara setiap kegelisahanku menghadangku untuk di buahi, ya dibuahi, tapi tidak untuk melahirkan suatu jawab, hanya ingin menatar ku menjadi manusia,, tapi kadang aku menjadi lemah, tak sedikitpun daya ku punya, hanya makna-makna yang merana di tengah siksa dari rasa. Tapi kalau aku lari, aku tak sama saja aku menusuk jantungku sendiri, atau mencekik sendiri leherku hingga nafas keadaan akan hilang. Sekarang tinggal aku yang berdaulat, aku yang memutuskan.

Rabu, 02 April 2008

’Matinya Seorang Penari Telanjang’

’Matinya Seorang Penari Telanjang’
Bahasa kritik sosial dalam pementasan teater

PENGGALAN percakapan itu terdengar kebak memenuhi sudut ruang. Mata tajamnya menebar seluruh ruang, dan kata-katanya semakin terasa tajam menusuk. Tapi pada satu jeda waktu, dia hanya bisa menatap perempuan berbusana seksi di dekatnya. Ada kelengangan menguasai suasana. Dan meraka hanya tepekur di tengah ketidakmengertiannya terhadap misteri hidup.
Senin (24/3) malam lalu, suasana seperti inilah yang berusaha ditampilkan oleh Teater Sangkur Timur Semarang, saat mementaskan naskah ’Matinya Seorang Penari Telanjang’, di Gedung Serbaguna TBRS Semarang. Naskah karya Seno Gumira Ajidarma itu, dibesut dalam bentuk pementasan realis oleh sutradara muda Arya Sutha.

Naskah ’Matinya Seorang Penari Telanjang’ sendiri, termasuk naskah berbobot berat. Ada muatan-muatan kritik sosial mendalam, yang diselipkan dalam balutan-balutan kisahnya. Yang menarik lagi, beban-beban kritik sosial itu, dimasukkan dalam balutan kesederhanaan kisahnya, yakni kisah tentang kematian seorang penari telanjang.

Lemah
Kendati naskah terbilang sangat apik, sayang sekali kemenarikan naskah tak mampu ditampilkan secara sempurna oleh anak-anak Sangkur Timur. Banyak kelemahan-kelemahan bersifat elementer, yang terlihat dalam seluruh pementasan. Dari sisi vokal misalnya, terjadi kesenjangan yang kentara antara satu pemain dengan pemain lainnya. Begitu pula pada sisi dialog tokoh, masih banyak pemain yang terlihat berdialog ’’sekadarnya” saja.

Kondisi itu makin diperlemah, dengan pencahayaan panggung yang terlampau ’’lemah”, sehingga suasana pementasan terlihat remang dan hambar. Belum lagi tata panggung yang terlalu banyak menyisakan ruang kosong, dan lagi-lagi, anak-anak Sangkur Timur tak mampu menjaga, agar ruang-ruang kosong itu bisa terisi. Meskipun demikian, ada satu hal yang patut mendapatkan sanjungan, yakni semangat mereka yang seolah-olah tiada padam.

Minggu, 30 Maret 2008

1 Tamparan Untuk 3 Pertanyaan

1 tamparan untuk 3 pertanyaan

Ada seorang pemuda yang lama sekolah di luar negeri, kembali ke tanah air. Sesampainya di rumah ia meminta kepada orang tuanya untuk mencari seorang guru agama, kiyai atau siapa saja yang bisa menjawab 3 pertanyaannya. Akhirnya orang tua pemuda itu mendapatkan orang tersebut, seorang kiyai.

Pemuda : Anda siapa Dan apakah bisa menjawab pertanyaan-pertanya an saya?
Kiyai : Saya hamba Allah dan dengan izin-Nya saya akan menjawab pertanyaan anda.

Pemuda: Anda yakin? Sedangkan Profesor dan ramai orang yang pintar tidak mampu menjawab pertanyaan saya.
Kiyai : Saya akan mencoba sejauh kemampuan saya.

Pemuda : Saya ada 3 pertanyaan:
1.Kalau memang Tuhan itu ada,tunjukan wujud Tuhan kepada saya
2.Apakah yang dinamakan takdir
3.Kalau syaitan diciptakan dari api kenapa dimasukan ke neraka yang dibuat dari api, tentu tidak menyakitkan buat syaitan. Sebab mereka memiliki unsur yang sama. Apakah Tuhan tidak pernah berfikir sejauh itu?

Tiba-tiba kyai tersebut menampar pipi pemuda tadi dengan keras.

Pemuda : (sambil menahan sakit) Kenapa anda marah kepada saya?
Kiyai : Saya tidak marah...Tamparan itu adalah jawaban saya atas 3 pertanyaan yang anda ajukan kepada saya.

Pemuda : Saya sungguh-sungguh tidak mengerti.
Kiyai : Bagaimana rasanya tamparan saya?

Pemuda : Tentu saja saya merasakan sakit.
Kiyai : Jadi anda percaya bahawa sakit itu ada?

Pemuda : Ya!
Kiyai : Tunjukan pada saya wujud sakit itu!

Pemuda : Saya tidak bisa.
Kiyai : Itulah jawaban pertanyaan pertama...kita semua merasakan
kewujudan Tuhan tanpa mampu melihat wujudnya.

Kiyai : Apakah tadi malam anda bermimpi akan ditampar oleh saya?
Pemuda : Tidak.

Kiyai : Apakah pernah terfikir oleh anda akan menerima tamparan darisaya hari ini?
Pemuda : Tidak.

Kiyai : Itulah yang dinamakan takdir.

Kiyai : Terbuat dari apa tangan yang saya gunakan untuk menampar anda?
Pemuda : Kulit.

Kiyai : Terbuat dari apa pipi anda?
Pemuda : Kulit.

Kiyai : Bagaimana rasanya tamparan saya?
Pemuda: Sakit.

Kiyai : Walaupun syaitan dijadikan dari api dan neraka juga terbuat dari api, jika Tuhan menghendaki maka neraka akan menjadi tempat yang menyakitkan untuk syaitan.

by Endro Wibowo, S.Pd

Kentrung Sakgaduke

Kentrung Sakgaduke

  • Oleh Achiar M Permana

Gabah gabuk jenenge kawur lemah jugrug jenenge longsor bapak pejabat sing lagi lungguh ndhuwur ya aja lali karo sing ning ngisor. JANGAN penonton seketika bertepuk ketika Ki Jaswadi menyelesaikan parikan, pantun berbahasa Jawa, itu. Pantun sindiran bagi para pejabat yang acap melupakan rakyat itu seperti mewakili pikiran dan perasaan penonton.

Siapa Ki Jaswadi? Sebagai dalang kentrung, boleh jadi dia belum semoncer mendiang Pak Tris (Sutrisno-Red), pengentrung asal Sendanggayam, Banjarejo, Blora, atau seniman kentrung senior lain. Namun tekadnya menghidup-hidupkan, ngurip-uripi, dan tak sekadar nguri-uri seni tutur kentrung tak perlu disangsikan.

Minggu (27/8) malam, dalang kentrung asal Pekalongan, Winong, Pati, itu tampil pada Forum Sapa Aruh Seni #2 sekaligus sebagai rangkaian ritual pupak puser. Kentrung ''pakeliran padat'' di Griya Sekar Gading C-12, Kalisegoro, Gunungpati, Semarang, itu memperoleh sambutan cukup antusias dari penonton. Ketika itu, Ki Jaswadi dibantu Sudadi sebagai panjak memainkan lakon Umarmaya-Umarmadi.

Pementasan kentrung, yang terbilang langka itu, memperoleh perhatian berbagai kalangan. Hadir antara lain Endo Suanda, peneliti kebudayaan dari Ford Foundation, guru besar Unnes Prof Dr M Jazuli MHum yang juga koordinator Forum Sapa Aruh Seni, seniman Lawu Warta, sutradara teater Catur Widya Pragolapati, penyair Wage Tegoeh Wijono, serta lebih dari 80-an pencinta seni tradisi dari berbagai daerah.

Di tengah pementasan, dibuka forum diskusi yang mengupas eksistensi seni kentrung di tengah pusaran zaman. Pembicara Drs Eko Raharjo MHum dan Sucipto Hadi Purnomo. Eko adalah dosen Sendratasik Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Unnes yang meneliti musik kentrung sebagai tesis S2 Seni Pertunjukan UGM. Sucipto adalah peneliti tradisi lisan kidungan bayi, pengarang cerita bersambung Saridin Mokong di Suara Merdeka edisi Suara Muria.

Sebagai pentas pembuka, remaja dari Komunitas Marung Seni Gebyog berkolaborasi dengan Teater SS Unnes memainkan sandiwara berbahasa Jawa Kandheg. Lakon karya Catur Widya Pragolapati itu berkisah tentang kematian dongeng.

Tradisi Lisan

Kentrung merupakan salah satu jenis seni tutur atau tradisi lisan yang berkembang di berbagai wilayah di Jawa. Lazimnya, kentrung dimainkan seorang dalang, didukung peranti tabuh seperti kendang, rebana, ketipung, atau jidor. Pada zaman keemasannya, dekade 1970-1980-an, kentrung acap ditanggap untuk menyemarakkan hajatan pupak puser (puputan), selapanan bayi, mudhun lemah, atau khitanan. Namun, belakangan kentung seperti memasuki senjakala.

Ki Jaswadi mengakui belum lama menggeluti seni kentrung. Dia lebih dulu menerjuni seni ketoprak atau niyaga pementasan wayang kulit. Sejak 1976, dia bergabung dalam Ketoprak Kembangjoyo Kodim 0718 Pati. Sekarang, dia kerap manjaki dalang Ki Budiyono atau main ketoprak bersama Mudho Budoyo, Jakenan, Pati.

''Setahun-dua tahun terakhir, atas dorongan teman-teman Dewan Kesenian Pati (DKP), saya serius mendalami kentrung,'' ujar dia.

Dia menuturkan awalnya kesulitan ''merekonstruksi'' kentrung. Sebab, pengentrung senior telah dipanggil Yang Mahakuasa. Mereka nyaris tak meninggalkan dokumentasi atau catatan yang menunjukkan pakem kentrung.

Dia pun mengandalkan ingatan pada pertunjukan kentrung yang acap dimainkan di kampung waktu kecil. Dulu, kentrung sering dimainkan untuk leklekan, saat ada orang jagong bayi atau punya kerja.

Dia berharap kentrung sebagai salah satu kekayaan budaya masyarakat tak pernah hilang. Hal itu amat bergantung pada ada atau tidak seniman yang melestarikan serta dukungan masyarakat penonton sebagai pemilik sah kesenian tersebut. ''Dhasare niku pengin nguri-uri. Eman-eman menawi kentrung ical. Dados, nggih ngentrung sakgaduk-gaduk kula.'' (53)

Grobakart Soft Launching @ Trotoar Atmodirono, Semarang

KOMUNITAS SENI SEMARANG
HYSTERIA

GROBAKART sebuah produk dalam project art. Dengan pemanfaatan ruang sesederhana mungkin dan dengan semangat setinggi mungkin. Mengembalikan seni ke trotoarnya, dengan merespon sebuah angkringan grobak atau di Semarang lebih dikenal sebagai sego kucingan. Mampukah grobak sego kucing yang ada ditrotoar [public space] itu, merubah identitasnya sebagai art space? Dan mampukah anak muda menggerakkan tangan ajaibnya dalam public space tersebut?

SAKSIKAN SENIRUPA SEMARANG DARURAT#1
Performance Art - Fashion Art - Drawing - Komik - Musik - Baca Puisi

PENGISI ACARA:
HYSTERIA [PROPAGANDA]
SANGKUR TIMUR [TEATER]
TEATER EMKA [TEATER]
ANJING GLADAK [MUSIC]
SAWO KECIK [PERFORMANCE ART]
BYAR CREATIVE INDUSTRY [VISUAL ART]
catdog COMMUNITART [VISUAL ART]
BALIK KANAN [VISUAL ART]
SETO CS [KRONCONG]
ORENJICHUU [FASHION ART]

Nikmati fenomena-fenomena yang bakal terjadi. Tentunya sambil menikmati
jajanan angkring kucingan yang tersedia, jangan lupa bayar yee….

SOFTLAUNNCHING
Kamis
30 Agustus 2007
19.00 Sampe Selesai
Trotoar Jalan Raya Atmodirono (Utara BPLP)
Semarang

CONTACT: ADIN 024.70375676
RIDHO 081326760777
ruparidho@yahoo.co.id