Label

Minggu, 30 Maret 2008

Kentrung Sakgaduke

Kentrung Sakgaduke

  • Oleh Achiar M Permana

Gabah gabuk jenenge kawur lemah jugrug jenenge longsor bapak pejabat sing lagi lungguh ndhuwur ya aja lali karo sing ning ngisor. JANGAN penonton seketika bertepuk ketika Ki Jaswadi menyelesaikan parikan, pantun berbahasa Jawa, itu. Pantun sindiran bagi para pejabat yang acap melupakan rakyat itu seperti mewakili pikiran dan perasaan penonton.

Siapa Ki Jaswadi? Sebagai dalang kentrung, boleh jadi dia belum semoncer mendiang Pak Tris (Sutrisno-Red), pengentrung asal Sendanggayam, Banjarejo, Blora, atau seniman kentrung senior lain. Namun tekadnya menghidup-hidupkan, ngurip-uripi, dan tak sekadar nguri-uri seni tutur kentrung tak perlu disangsikan.

Minggu (27/8) malam, dalang kentrung asal Pekalongan, Winong, Pati, itu tampil pada Forum Sapa Aruh Seni #2 sekaligus sebagai rangkaian ritual pupak puser. Kentrung ''pakeliran padat'' di Griya Sekar Gading C-12, Kalisegoro, Gunungpati, Semarang, itu memperoleh sambutan cukup antusias dari penonton. Ketika itu, Ki Jaswadi dibantu Sudadi sebagai panjak memainkan lakon Umarmaya-Umarmadi.

Pementasan kentrung, yang terbilang langka itu, memperoleh perhatian berbagai kalangan. Hadir antara lain Endo Suanda, peneliti kebudayaan dari Ford Foundation, guru besar Unnes Prof Dr M Jazuli MHum yang juga koordinator Forum Sapa Aruh Seni, seniman Lawu Warta, sutradara teater Catur Widya Pragolapati, penyair Wage Tegoeh Wijono, serta lebih dari 80-an pencinta seni tradisi dari berbagai daerah.

Di tengah pementasan, dibuka forum diskusi yang mengupas eksistensi seni kentrung di tengah pusaran zaman. Pembicara Drs Eko Raharjo MHum dan Sucipto Hadi Purnomo. Eko adalah dosen Sendratasik Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Unnes yang meneliti musik kentrung sebagai tesis S2 Seni Pertunjukan UGM. Sucipto adalah peneliti tradisi lisan kidungan bayi, pengarang cerita bersambung Saridin Mokong di Suara Merdeka edisi Suara Muria.

Sebagai pentas pembuka, remaja dari Komunitas Marung Seni Gebyog berkolaborasi dengan Teater SS Unnes memainkan sandiwara berbahasa Jawa Kandheg. Lakon karya Catur Widya Pragolapati itu berkisah tentang kematian dongeng.

Tradisi Lisan

Kentrung merupakan salah satu jenis seni tutur atau tradisi lisan yang berkembang di berbagai wilayah di Jawa. Lazimnya, kentrung dimainkan seorang dalang, didukung peranti tabuh seperti kendang, rebana, ketipung, atau jidor. Pada zaman keemasannya, dekade 1970-1980-an, kentrung acap ditanggap untuk menyemarakkan hajatan pupak puser (puputan), selapanan bayi, mudhun lemah, atau khitanan. Namun, belakangan kentung seperti memasuki senjakala.

Ki Jaswadi mengakui belum lama menggeluti seni kentrung. Dia lebih dulu menerjuni seni ketoprak atau niyaga pementasan wayang kulit. Sejak 1976, dia bergabung dalam Ketoprak Kembangjoyo Kodim 0718 Pati. Sekarang, dia kerap manjaki dalang Ki Budiyono atau main ketoprak bersama Mudho Budoyo, Jakenan, Pati.

''Setahun-dua tahun terakhir, atas dorongan teman-teman Dewan Kesenian Pati (DKP), saya serius mendalami kentrung,'' ujar dia.

Dia menuturkan awalnya kesulitan ''merekonstruksi'' kentrung. Sebab, pengentrung senior telah dipanggil Yang Mahakuasa. Mereka nyaris tak meninggalkan dokumentasi atau catatan yang menunjukkan pakem kentrung.

Dia pun mengandalkan ingatan pada pertunjukan kentrung yang acap dimainkan di kampung waktu kecil. Dulu, kentrung sering dimainkan untuk leklekan, saat ada orang jagong bayi atau punya kerja.

Dia berharap kentrung sebagai salah satu kekayaan budaya masyarakat tak pernah hilang. Hal itu amat bergantung pada ada atau tidak seniman yang melestarikan serta dukungan masyarakat penonton sebagai pemilik sah kesenian tersebut. ''Dhasare niku pengin nguri-uri. Eman-eman menawi kentrung ical. Dados, nggih ngentrung sakgaduk-gaduk kula.'' (53)

Tidak ada komentar: